Senin, 28 November 2016

Periodisasi peradaban islam

Pengertian Peradaban
Kata Peradaban seringkali diberi arti nan sama dengan kebudayaan. Tetapi dalam B. Inggris terdapat disparitas pengertian antara kedua istilah tersebut. Istilah Civilization buat peradaban dan Culture buat kebudayaan. Demikian pula dalam B. Arab dibedakan antara kata t saqafah (kebudayaan), kata h adharah (kemajuan), dan t amaddun (peradaban).
Suatu peradaban ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir, mis. Memiliki kota-kota besar, masyarakat telah memiliki keahlian di dalam industri pertanian, pertambangan, pembangunan, pengangkutan dsb., memiliki tertib politik dan kekuasaan, dan terdidik dalam kesenian nan indah-indah.
Peradaban Islam memiliki tiga pengertian nan berbeda. Pertama, kemajuan dan taraf kecerdasan akal nan dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad Saw.
Sampai perkembangan kekuasaan sekarang; kedua, hasil-hasil nan dicapai oleh umat Islam dalam lapangan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan kesenian; ketiga, kemajuan politik atau kekuasaan Islam nan berperan melindungi etos Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan Norma hayati kemasyarakatan.


Meraih Kejayaan Islam dengan Iptek Berdasarkan klarifikasi Ibnu Khaldun tentang kebangkitan suatu peradaban, jika umat Islam ingin membangun kembali peradabannya, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa ini, kebangkitan Islam hanya akan menjadi utopia belaka.
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen krusial yaitu, kemampuan manusia buat berfikir nan menghasilkan sains dan teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan kesanggupan berjuang buat hidup.
Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan mudun (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai taraf kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya.
Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran nan tinggi sehingga mampu meningkatkan tingkat kehidupannya. Suatu pemikiran tak bisa tumbuh begitu saja tanpa wahana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur nan tersedia.
Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tak sepenuhnya salah, karena ekonomi akan berperan meningkatkan tingkat kehidupan.
Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan nan mengarahkan seseorang buat memberi respon seseorang terhadap situasi nan sedang dihadapinya ialah faktor ilmu pengetahuan. Dari sini, kita melihat peran vital pendidikan sebagai jalan kebangkitan peradaban Islam.


Periodisasi Peradaban Islam Sejarah Islam ialah bagian dari ilmu pengetahuan Agama Islam dan tak boleh dipandang terpisah dari ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh sebab itu dalam menulis sejarah Islam harus mempunyai pengetahuan tentang cabang-cabang ilmu pengetahuan agama Islam seperti Al-Qur’an, As-Sunnah, Fiqih, Tauhid, Tarikh Tasyri.
Menurut para sejarawan perkembangan historiogragfi Islam terbagi kedalam empat periode, di antaranya:


1. Periode awal sampai pada abad ke 3 Hijriyah Ciri dari masa ini ialah belum terpecahkannya antara legenda dan tradisi Arab sebelum Islam dengan sejarah Islam nan nisbi ilmiah nan muncul pada abad ke dua Hijriyah. Penulisan sejarah abad ini masih dipengaruhi oleh tradisi penulis Persia. Salah satu buku nan terkenal ialah buku nan berjudul Khudai-Nama (Buku Raja-raja).


2. Periode dimulai abad ke 3 sampai abad ke enam Hijriyah Ciri periode ini ialah diakui sebagai disiplin ilmu nan berdiri sendiri. Karakteristik lainnya ditandai dengan lahirnya sejarawan-sejarawan wilayah/propinsi, seperti Fathu Mishr karya Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam , dan Tarikh Baghdad karya Ibnu Abi Thahir Taifur.


3. Periode abad keenam sampai abad kesepuluh Ciri periode ini ialah digunakannya dua bahasa yakni bahasa Arab dan Persia.


4. Periode abad kesepuluh sampai abad ketiga belas Hijriyah Ciri periode ini ialah pdipergunakannya bahasa Turki dalam penulisan sejarah. Hal ini sebagai dampak logis dari tegaknya Dinasti Turki Utsmani dan perluasan Barat terhadap global Islam


Periodisasi Sejarah Islam Periodisasi sejarah merupakan karakteristik bagi ilmu sejarah nan mengkaji peristiwa dalam konteks waktu dan loka dengan tolok ukur nan bermacam-macam. Menurut Prof. DR. H.N. Shiddiqi, ada beberapa pendapat yaitu:
  1. Tolok ukurnya ialah pada sistem politik, hal ini biasanya digunakan pada sejarah konvensional.
  2. Tolok ukurnya pada persoalan ekonomi (maju-mundurnya ekonomi) dalam sebuah negara.
  3. Tolok ukurnya pada taraf peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.
  4. Tolok ukurnya pada masuk dan berkembangnya suatu agama.
Menurut Frof. Dr. Harun Nasution periodisasi sejarah Islam terbagi pada 3 periode:


1. Periode Klasik (650-1250 M) Meliputi dua masa kemajuan yaitu masa Rasululloh SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, dan masa-masa permulaan Dawlah Abbasiyah.


2. Periode Pertengahan (1250-1800 M) Pada periode ini terjadi dua masa kemunduran dan masa Tiga Kerajaan Besar. Turki Utsmani, Dawlah Shafawiyah, dan Dawlah Mongoliyah di India. Fase Tga Kerajaan Besar mengalami kemajuan pada tahun 1500-1700 M. dan mengalami kemunduran kembali pada 1700-1800 M.


3. Periode Modern (1800- sekarang) Pada mperiode ini umat Islam banyak belajar dari global Barat dalam rangka mengembalikan balance of power. Dalam era ini Islam mulai bangkit kembali dengan melakukan pembaharuan (tajdid).


Kemajuan Peradaban Islam Sejak awal, Rasulullah Saw tak pernah mengajar sistem feodal atau monarki. Maka, pemilihan khalifah (pada masa khulafaur rasyidin) dilakukan dengan tiga model pemilihan: aklamasi; penunjukan; atau (ketiga) melalui tim formatur (dewan syura).
Sementara di bidang ekonomi, Nabi Saw mewariskan prinsip: mengakui hak individu berikut penggunaannya; kepemilikan pribadi itu harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt; dan (prinsip ketiga) harta tersebut harus disalurkan kepada fakir miskin atau nan lebih membutuhkan. Sedang sistem sosial Islam merangkul semua lapisan masyarakat; mempertalikan si kaya dengan si miskin, dan raja dengan rakyat. Tidak ada kasta-kasta dalam Islam.
Islam menyajikan sistem tolong menolong antarumat dalam lapangan politik, perekonomian, kehidupan sosial, bahkan sistem perdamaian. Islamlah nan mencetuskan sistem perjanjian, konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kolaborasi dan kontak ekonomi dibolehkan dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan Romawi.
Semasa Dinasti Umayyah (Amawiyah) berkuasa (661-770M), banyak institusi politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, forum sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat spesifik di bidang politik.
Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, forum homogen perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang nan canggih pada masanya, wahana transportasi darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan
Penerapan ekonomi Islam dirasakan dan telah terbukti mampu memakmurkan penduduk Madinah dan juga negeri-negeri jajahan Islam. Kemakmuran ini ditandai dengan kebingungan para pengelola baitul maal buat menyalurkan zakat nan telah terkumpul, sebab tak ada penduduknya nan termasuk ke dalam kriteria delapan asnaf tersebut.
Pada saat itu perkembangan peradaban Islam sangatlah maju dari semua sektor, mulai dari ekonomi, pemerintahan, politik, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, kesenian, dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan sebagai zaman kejayaan Islam.
Hal ini diukur dengan adanya pasar dan juga kebudayaan nan tinggi di kalangan umat muslim, berbeda dengan barat pada saat itu nan masih tertinggal dan kebanyakan mata pencaharian dari orang barat pada saat itu ialah berburu.
Karena peradabannya nan tinggi, umat muslim pada waktu itu banyak menjadi acum dan acuan di segala bidang. Banyak ilmuwan barat nan menimba ilmu di Arab maupun di negara-negara Eropa nan telah menjadi jajahan muslim. Tujuannya tidak lain ialah buat sekedar berguru atau berdiskusi dengan ulama-ulama muslim.
Salah satu bukti ialah bergurunya Adam Smith bapak ekonomi kapitalis kepada Abu Ubaid, nan pada waktu itu sering mengadakan diskusi di Eropa. Dalam penulisan bukunya nan fenomenal yaitu The Wealth of Nations, Adam Smith banyak terinspirasi oleh buku Al Amwal karya Abu Ubaid.

Sumber :  http://www.binasyifa.com/709/56/26/periodisasi-peradaban-islam.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar